Pages - Menu

KH. Aceng Zakaria: Segudang Karya Ilmiah Tanpa Gelar

Menulis adalah tradisi peradaban Islam. Sejak dulu kepakaran dan keilmuan para ulama Islam diukur dengan seberapa hebat tulisan-tulisannya. Tiap ulama kemudian berusaha menuliskan apa saja yang mereka ketahui. Lihat Ibnu Taimiyyah, Al-Ghazali, Al-Suyuthi, Ibnu Hajar, dan sebagainya. Mereka dikenal luas sampai masa kini,  karena karya-karya mereka yang hebat. Peradaban Islam dapat terwariskan dengan baik ke generasi berikutnya karena tradisi menulis ini.
Di Indonesia pun, tradisi menulis ini adalah tradisi yang hidup di kalangan para ulama dan intelektual kita. Hamka, A. Hasan, M. Natsir, Hasyim Asy’ari, Nawawi Al-Bantani, dan lainnya. Semua dikenal dan dikenang generasi berikutnya karena tulisan-tulisan mereka. Sekalipun secara formal tidak bergelar akademik mentereng, namun tidak ada yang meragukan keilmuan mereka. Bersekolah formal bukan jaminan kualitas keilmuan. Yang lebih penting adalah penguasaan ilmu yang dibuktikan dengan karya-karya mereka.

Di antara semakin sedikit ulama yang sangat peduli pada ilmu dari pada gelar akademik adalah KH. Aceng Zakaria. Secara formal, ia hanya bersekolah sampai SD di kampung kelahirannya, Sukarasa Wanaraja Garut. Karena lahir di lingkungan pesantren, bahkan kakek dan ayahnya adalah kiai terkenal di kampungnya, sejak kecil ia sudah belajar berbagai kitab kuning kepada ayahnya. Saat menyelesaikan SD, sudah enam kitab ia selesaikan.
Ketertarikannya pada kitab-kitab kuning ini membuat kiai yang kini memimpin Pondok Pesantren Persis 99 Rancabango Garut ini memilih tidak meneruskan pendidikan formalnya. Ia memutuskan untuk mengaji menamatkan berbagai kitab kuning kepada ayah dan paman-pamannya. Berbagai disiplin ilmu mulai aqidah, fiqih, nahwu, sharf, tafsir, hadis, dan lainnya berhasil dipelajari dengan baik. Lima tahun ia lakoni aktivitas itu sambil diberi tugas oleh ayahnya mengajari santri-santri yunior. Selain itu, ia pun diberi tugas untuk bertabligh di berbagai mesjid.
Keinginannya yang kuat untuk belajar mendorongnya untuk merantau ke Bandung. Atas saran beberapa gurunya, ia dianjurkan menemui KH E. Abdurrahman dari Persis. Ia adalah salah seorang murid A. Hassan yang juga saat itu (th. 1969) diamanahi menjabat Ketua Umum PP Persis. Mulanya Ust. Abdurrahman ragu menerimanya. Perlu dimaklumi KH. E. Abdurrahman menyelenggarakan sekolah formal sejak kelas ibtidaiyyah, tsanawiyyah, sampai mu’allimin. Sementara itu, Aceng secara formal hanya lulus SD. Namun begitu, Ust. Abdurrahman diyakinkan bahwa sekalipun tidak bersekolah secara formal, kemampuan dan penguasaannya terhadap ilmu-ilmu agama bisa lebih baik dari yang bersekolah formal. Setelah dites, Aceng Zakaria diizinkan masuk ke kelas mu’allimin, kelas tertinggi yang dibuka KH. E. Abdurrahman di Pesantren Pajagalan Bandung.
Karena kemampuannya yang baik, hanya 1,5 tahun pria kelahiran tahun 1948 ini menyelesaikan studi formalnya. Kemudian Ust. Abdurrahman menugaskannya untuk mengajar di Pesantren Pajagalan. Sambil mengajar, ia tetap diharuskan mengaji berbagai kitab yang belum dipelajari langsung kepada Ust. Abdurrahman. Berbagai kitab seperti Tafsir Ibnu Katsir dan lainnya diselesaikan secara sorogan kepada Ust. Abdurrahman selama ia mengajar di Pesantren Pajagalan Bandung.
Selain mempelajari berbagai disiplin ilmu, jiwa enterpreuneursip¬-nya sudah diasah sejak kecil. Saat mengaji di kampung pada ayahnya, siang hari ia sudah biasa dilatih bertani dan menjual hasilnya ke pasar di waktu-waktu senggang saat tidak ada jadwal mengaji dan mengajar. Biasanya aktivitas ini dilakukannya siang hari. Saat di Bandung, bersama beberapa saudaranya ia kadang ikut berjualan. Ia sempat berjualan arloji dan barang-barang lain. Kebiasaan ini secara tidak langsung mendidiknya untuk hidup mandiri. Hingga saat ini, ia lebih banyak menggantungkan hidupnya pada usaha sendiri.
Kebiasaannya menulis sudah dilakukannya sejak mengaji pada ayahnya dulu. Selepas mengaji ia sering menuliskan khulâshah (ringkasan) berbagai kitab yang telah dipelajarinya. “Sambil belajar dan bertabligh, saya mulai belajar menuliskan apa yang selama ini saya pelajari. Bahkan manuskripnya masih ada tersimpan rapi”, kenang ayah depalan anak ini. Kebiasaan inilah yang membuatnya sangat gemar menulis.
Sampai saat ini tidak kurang lima puluh (50) judul buku yang telah ditulis oleh kiai yang juga menjabat Ketua Bidang Tabiyah PP Persis ini. Buku-buku yang ditulisnya pun sangat beragam mulai dari Ilmu Nahwu, Sharf, Ushul Fiqih, Musthalah Hadis, Fiqih Muqâranah, Tafsir, sampai tema-tema aktual kontemporer. Apa yang ditulisnya menunjukkan keluasan penguasaan ilmunya dalam berbagai bidang. Tipikal para ulama yang dididik dengan model persantren turats memang tidak fakultatif. Semua ilmu sesuai dengan hirarki ilmu yang dikenal dalam tradisi Islam diajarkan.
Diantara buku yang paling fenomenal yang ditulisnya  adalah Al-Muyassar Fi ‘Ilm Al-Nahwi. Buku ini sudah dicetak lebih dari tiga puluh kali sejak pertama kali terbit tahun 1980-an. Tidak hanya santri-santri di Pesantren Persis yang mendapat manfaat dari buku ini. Berbagai kalangan dari mulai mahasiswa sampai eksekutif yang ingin mempelajari ilmu nahwu banyak yang menggunakan buku ini. Tidak heran kalau sampai saat ini sudah lebih dari 150 ribu copy buku ini tersebar ke seluruh Indonesia. “Bahkan buku ini digunakan juga sebagai bahan ajar Ilmu Nahwu praktis di Malaysia”, tutur Ketua STAI Persis Garut ini.
Al-Muyassar ini merupakan rangkuman ilmu nahwu yang mengadaptasi metode praktis sehingga mudah dipahami para pemula, namun tidak juga terlalu enteng untuk pelajar tingkat lanjut. Ust. Aceng, demikian ia akrab disapa, menyusun kitab ini sejak tahun 70-an. Ia mengujicobakannya terlebih dahulu di berbagai tempat, baik kepada santrinya maupun kepada jamaah pengajiannya yang meminta diajarkan ilmu nahwu. Setelah diujicoba selama sepuluh tahun lebih, barulah buku ini dicetak. Hasilnya sangat memuaskan. Saat ini siapapun yang belajar di Pesantren Persis, pasti akan mempelajari buku ini untuk pelajaran ilmu nahwu (gramatika Bahasa Arab).
Selain Al-Muyassar, buku fenomenal lain karangan KH Aceng Zakaria adalah Al-Hidâyah fî Masâ’il Fiqhiyyah Muta‘âridhah. Buku ini berisi tentang pembahasan perbedaan-perbedaan pendapat dalam fikih beserta pemecahannya. Boleh dikatakan buku ini semacam buku fikih perbandingan (fiqih muqâranah) yang jarang ditulis oleh para ulama Indonesia, apalagi dalam bahasa Arab. Tidak heran bila Prof. Umar Hasyim, mantan Rektor Univ. Al-Azhar Mesir memberikan penghargaan yang sangat tinggi pada buku ini saat Ust. Aceng berkunjung menemuinya ke Mesir. Ia memberikan sambutan resmi untuk buku ini. Sejak tahun 1986, buku ini sudah dicetak lebih dari sepuluh kali. Bahkan saat ini, para pembaca pemula bisa membaca edisi terjemahan bahasa Indonesianya dalam tiga jilid.
Buku-buku lain yang telah diterbitkan diantaranya adalah: Kesalahan Umum dalam Pelaksanaan Sholat, Etika Hidup Seorang Muslim, Materi Dakwah, Doa-doa Shalat, Mengungkap Makna Syahadat, Bai’at dan Berjama’ah, Belajar Nahwu Praktis 40 Jam, Belajar Tashrif Sistem 20 Jam, Kamus Tiga Bahasa (Arab-Indonesia-Inggris), Haramkah Isbal dan Wajibkah Jenggot?, Sakitku Ibadahku, Jabatanku Ibadahku, Al-Kâfi fi Al-Ilm Al-Sharfi, Tarbiyyah Al-Nisâ, Kitab Al-Tauhid (3 jilid), Ilm Al-Mantiq, Al-Bayân Fi ‘Ulûm Al-Quran, Adâb Al-Muslim, Tarbiyyah Al-Nisâ, serta belasan buku lainnya yang ditulis dalam bahasa Arab dan Indonesia.
Saat ini, selain menjadi Pimpinan Pondok Pesantren Persatuan Islam 99 Rancabango Garut, beliau menjadi salah satu anggota Dewan Hisbah Pimpinan Pusat Persatuan Islam, Pengurus dan Anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Garut, Ketua Badan Kerjasama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI) Kabupaten Garut.
Aktivitas dakwah yang beliau geluti sangat luas. Selain aktif berdakwah di lingkungan Persatuan Islam, Kyai Aceng tercatat sebagai instruktur tetap Kursus Kesejahteraan Rohani (KKR) Pengajian Wanita Salman ITB Bandung, instruktur tetap pada Training Haji di berbagai instansi, penceramah rutin di Yayasan Madani Geologi ITB Bandung, pengisi rutin kuliah subuh di berbagai radio dan acara Cahaya Kalbu di TVRI Jabar-Banten, serta seabreg aktivitas dakwah di tempat lainnya.
Kyai Haji Aceng Zakaria menjadi teladan menarik bagi pecinta dan pegiat ilmu. (***)
Sumber:

No comments:

Post a Comment